AKULTURASI HINDU-BUDDHA DAN ANIMISME DAN DINAMISME
Edit by : Noviyanti
Sebelum Hindu-Buddha, masyarakat Nusantara
telah mengenal kepercayaan yaitu Animisme dan Dinamisme.
1. Istilah animisme berasal dari bahasa latin yakni anima yang diarti kan sebagai “roh”. Dengan demikian, animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh-roh leluhur atau roh-roh orang yang sudah meninggal.
2.
Dinamisme adalah pemujaan terhadap benda-benda yang dipercaya
memiliki kekuatan gaib. Dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yakni dunamos
yang berarti kekuatan. Benda-benda yang diyakini punya kekuatan gaib itu bisa
berupa apa saja, seperti batu, pohon, gua, bahkan api. Orang-orang penganut
dinamisme cenderung sangat menggantungkan hidupnya dengan benda-benda tersebut,
seperti halnya agama yang memberikan kenyamanan serta rasa aman bagi penganutnya.
3.
Bentuk-bentuk
animisme pada masa pra aksara terlihat pada peninggalan jaman megalithikum
berupa pemberian sesaji pada dolmen, mendirikan punden berundak, membuat kubur
peti batu,dll.
Gambar 1. Tradisi megalitik
4.
Bentuk-bentuk dinamisme pada masa pra aksara
adalah penyembahan pada pohon, api, percaya pada benda- benda milik orang yang
sudah meninggal. Percaya pada tempat tinggi seperti gunung, benda-benda
peninggalan megalithik itu perwujudan dari animisme juga.
Gambar 2. Warga yang
tendang sesajen di Gunung Semeru
5. Kemudian, masyarakat mulai mengenal dan menganut agama hindu yang bersifat politeisme (menyembah banyak dewa). Dalam agama Hindu mengenal adanya kasta untuk mempertahankan posisi bangsa Arya sebagai ras yang merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dari bangsa dravida. Alasan terbentuknya sistem kasta di India adalah untuk menyucikan Weda dari kaum Dravida. Kitab Weda hanya boleh dan dapat dibaca oleh bangsa Arya, selain itu Bangsa Arya juga menolak melakukan perkawinan campur dengan bangsa Dravida. Di Indonesia agama Hindu dianggap cocok untuk mengamankan posisi dan kekuasaan para raja dan bangsawan.
Gambar 3. Umat Hindu
sedang beribadah di Prambanan
6.
Ada pula
agama Buddha lebih cepat diterima karena tidak mengenal kasta. Ajaran agama
Buddha yaitu samsara, reinkarnasi, moksa, nirwana. Eksistensi samsara dalam masyarakat Buddha
sendiri mengartikan sebagai penderitaan (dukkha) atau sebuah kondisi ketidakpastian dan
ketidakpuasan dan alam dimana
manusia tinggal bisa
disebut sebagai tempat
yang bersifat samsara. Samsara adalah lingkaran tumimbal lahir dari kelahiran
berulang-ulang. Buddha melihat kondisi kelahiran kembali dan berbagai keadaan
kehidupan lainnya yang terjadi disebabkan oleh ketidaktahuan, kemelakatan pada
nafsu keinginan, dan karma atau perbuatannya di kehidupan lampau atau masa
kini. Segala sesuatu di dunia ini adalah hasil gabungan dari sebab jodoh dan
hukum karma. Reinkarnasi merujuk kepada kepercayaan bahwa akan ada
masa dimana seseorang mati dan kemudian dilahirkan kembali dalam bentuk
kehidupan lain. Moksa secara sederhana memiliki artian melepaskan diri
dari segala ikatan duniawi, serta perputaran reinkarnasi kehidupan. Nirwana,
menurut agama Buddha, adalah konsep keadaan yang rumit dimana seseorang dapat
terbebas dari penderitaan di dunia dan menyatu dengan alam semesta. Kesadaran
orang yang mencapai Nirwana dapat meninggalkan siklus reinkarnasi dan berada
secara rohani saja, meskipun tanpa unsur kepribadian. Kata Nirwana secara
harafiah berarti “padam” atau “meniup,” namun ketika maknanya diterapkan pada
hidup rohani seseorang, menjadi jauh lebih rumit. Nirwana dapat merujuk kepada
tindakan pemadaman – baik secara perlahan atau secara cepat (seperti meniup
sebuah lilin). Tujuan akhir agama Buddha adalah Nirwana, ketika segala
keinginan “dipadamkan”, dan keadaan orang diubahkan. Bayangkan sebuah lilin
yang menyala, kemudian dipadamkan. Tenaganya tidak dihancurkan, melainkan
berubah menjadi jenis tenaga yang lain. Ilustrasi sederhana ini menggambarkan
apa yang terjadi ketika seorang mencapai Nirwana. Secara harfiah nirwana berarti pemadaman.
Dari terjemahan nirwana yang sangat sederhana ini muncul anggapan bahwa
pemadaman yang diajarkan Buddhisme bersifat keseluruhan, suatu pemadaman yang
total, pemusnahan segala kehendak. Masuk dalam nirvana adalah perceraian dari
dunia ini dengan segala pengertiannya.
7.
Agama
hindu buddha mengalami sinkretisme dan disebut ajaran Siwa-Buddha. Ajaran Siwa-Buddha merupakan sinkretisme atau
percampuran dari agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Di era Majapahit, ajaran
yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno ini berpadu menjadi satu. Perkembangannya
terdata dalam peninggalan arkeologi seperti prasasti dan candi ‘gabungan’ Siwa
Buddha seperti candi Jawi, candi Jago, candi Panataran. Kemudian konsep
sinkretisme ini mencapai puncaknya dalam karya sastra Jawa pada era Majapahit
yang didukung pujangga-pujangga termahsyur. Diceritakan dalam Negarakertagama
karya Mpu Tantular bahwa pendiri Singasari (1222-1292) Sri Rajasa atau Ken Arok
dimakamkan di dua tempat, di Kegenengan sebagai Siwa, dan di Usana sebagai
Buddha. Ditambahkan bahwa Ken Arok adalah sosok yang menyatukan mazhab Brahma,
Wisnu, Siwa, aliran-aliran dalam Hindu yang saling memiliki perbedaan dan
persaingan satu sama lain. Penerus Ken Arok, prabu Kertanagara raja terakhir
Singasari dalam Negarakertagama juga disebut Siwa Buddha.
Gambar 4. Candi Jawi dan Candi Jago
8.
Akulturasi
hindu buddha dg animisme dan dinamisme dapat dilihat dari tempat peribadatan
Candi yang berbentuk punden berundak. Selain itu, Fungsi candi di India yang
hanya digunakan sebagai tempat pemujaan, di Indonesia juga digunakan untuk
menyimpan abu jenazah Raja. Ritual ibadah pada Hindu Buddha mengenal sesajen.
9.
Akulturasi
antara Hindu-Buddha dan Animisme dan dinamisme masa kini yaitu slametan di
perempatan jalan, berdoa di kuburan keramat, selametan saat hendak membangun
rumah, membabat lahan baru, saat hendak panen, tradisi siklus hidup, 7 Harian
untuk orang yang sudah meninggal, 40 Harian, 100 hari, dst. Selain itu ada pula
tradisi wetonan, tradisi ruwatan, dan masih banyak lagi.
Gambar 5. Tradisi Ruwatan
Comments
Post a Comment